Dalam sebuah hutan, hiduplah seekor tikus. Ia berfilsafat, bahwa gelisah bisa membunuh kebahagiaan, memadamkan kilauan cahaya, dan menghilangkan kenyamanan. Selain itu kegelisahan menghacurkan akal, hati, dan fisik.
Pada suatu hari, ia ingin mengajari teman-teman dan anak-anaknya dengan pelajaran tersebut. Ia berkeinginan pelajaran itu langsung dipraktekkan dan tertanam di dalam sanubari. Ketika ia sedang berceramah di hadapan teman-teman dan anak-anaknya, tiba-tiba muncul seekor singa. Tikus itu lalu berkata, “Tuan singa, aku hendak mengatakan sesuatu. Aku berharap engkau mau memberikan jaminan keamanan kepadaku”. Kemudian sang singa menjawab, “Aku menjamin keamananmu, wahai tikus yang pemberani”. Tikus kemudian berkata, “Aku hendak menyatakan bahwa aku mampu membunuhmu jika engkau memberiku waktu selama sebulan penuh, aku bersaksi demi seluruh penghuni hutan ini”.
Mendengar hal itu, sang singa langsung tertawa. Dengan nada mengejek ia berkata, “Engkau mau membunuhku ?”. “Benar”, jawab si tikus. “Aku setuju, tetapi jika engkau tak mampu melakukannya, engkau akan ku pancung di depan semua hewan. Waktunya sebulan mulai dari sekarang”, jawab sang singa.
Sepuluh hari telah berlalu dan sang singa sama sekali tidak memikirkan ancaman si tikus tersebut. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, tebesit dalam hatinya, “Apa sebenarnya yang hendak dilakukan si tikus itu? Kenapa ia terlihat begitu meyakinkan? Bagaimana kalau ancaman itu benar-benar terjadi?”
Beberapa saat kemudian sang singa tertawa jungkir balik sambil berkata, “Bagaimana mungkin si tikus mampu membunuhku sedangkan aku punya anak-anak yang akan membelaku? Walaupun ia mengerahkan seluruh tikus yang ada sekalipun, tidak mungkin bisa membunuhku”.
Waktu terus berjalan, bisikan tersebut kembali hadir dalam benaknya. Untuk kali ini, sang singa merasakan bahwa bisikan itu semakin kuat dari sebelumnya. Sementara si tikus tidak kunjung datang untuk mencabut pernyataannya ataupun menyerah.
Melihat kenyataan tersebut, sang singa terus berfikir, “Apakah si tikus mempunyai senjata yang ampuh, atau telah mengumpulkan kekuatan yang luar biasa, atau membuat jebakan yang mematikan ?”
Hari terus berganti, sementara fikiran-fikiran tersebut selalu muncul hingga membuat sang singa tdak doyan makan dan minum. Dia selalu membayangkan nasib dan akhir yang begitu mengerikan, seperti ancaman yang telah diungkapkan si tikus tersebut.
Tak lama kemudian, sebelum hari yang ditentukan tiba, tepatnya pada pagi hari yang ke dua puluh enam, hewan-hewan menemukan singa tersebut telah tergeletak mati.
Dia telah terbunuh oleh perasaan was-was dan ketakutan. Daging lemaknya telah terbakar kesedihan yang ia rasakan, padahal si tikus tidak pernah melakukan tipu muslihat atau merancang persekongkolan apapun. Ia hanya mengetahui sebuah rahasia, bahwa menunggu musibah, memperkirakan bencana, dan was-was pada sebuah tragedi adalah senjata ampun yang bisa membunuh jagoan pemberani ataupun sang perkasa yang tidak mempunyai rasa takut.
(Dr. Khalid Umar Abdurrahman)
No comments:
Post a Comment